"Waktu terus berjalan. Aku masih saja berdiri diam disini dengan tanya
yang belum terjawab. Sampai kapan? Entahlah. Aku menunggu sebuah
kepastian."
"Kenapa harus menunggu, Bulan? Jemputlah! Katakanlah apa yang ingin kamu
tanyakan! Percepatlah kamu dapatkan jawabannya! Bukankah menunggu adalah
ketidak pastian?"
"Malam, Bintang. Senang kamu memerhatikanku. Aku ragu, Bintang.
Keingintahuanku sama besarnya dengan ketakutanku. Beri tahu aku,
Bintang! Perasaan semacam apa ini?"
"Aku juga tak tahu, Bulan. Sebut saja 'Perasaan Tak Bernama'. Legakan
keingintahuanmu! Hadapilah ketakutanmu! Dan sempurnakanlah kembali
kecantikanmu dengan senyumanmu!
"Ah, selalu saja kamu yang memancing senyumku. Kenapa harus selalu kamu juga yang hadir disaat kantuk menyapaku?"
"Karena senyum itulah yang menjadi jawaban atas segala rinduku. Senyummulah yang mengundangku dalam bias bayang mimpimu."
"Kamu penat di kepalaku sekaligus redam dalam teriakku. Ah, kamu menyayatku ketika kamu memujiku."
"Aku semakin terjungkal dalam rasa kekagumanku akan keindahan kata yang
kamu ucap. Kata-katamu bagaikan nyawa kehidupanku, nafas yang memberikan
arti di tiap langkah perjalananku."
"Mengagumimu bukanlah bahagiaku. Mengagumimu adalah luka bagiku. Karena
mengagumimu membuatku ingin mendapatkanmu. Sementara mendapatkanmu
seperti aku mencoba menangkap angin. Begitu sulit."
"Kenapa harus begitu? Katamu, aku telah memenuhi ruang hati dan
kepalamu. Katamu, hadirku adalah warna dalam mimpimu, cahaya di gelap
dan sepimu. Pejamkan matamu! Bentangkan tanganmu! Rasakan sejuk yang
mengaliri tubuhmu! Mungkin begitulah caranya menangkap angin."
"Aku membenci diriku yang tak mampu membencimu. Rasa benciku terhenti di
batas 'aku butuh kamu'. Aku telah mengalami ketergantungan akan bisikan
kata-katamu."
"Separah itukah aku? Lidahmulah yang menarik lidahku untuk menyemburkan
jutaan kata yang aku sendiri tak mampu mengendalikannya. Pesonamu adalah
karya berupa sajak kata yang mewujud."
"Cukup, Bintang! Aku ingin menghapus jejak kenangan yang terekam dalam
ingatan. Aku ingin memundurkan waktu di titik saat aku menemukan ':)'.
Sebaiknya dulu aku mengabaikannya saja."
"Apa sebenarnya yang terjadi, Bulan? Mengapa kamu jadi seperti ini? Kamu
seperti menyesali perkenalan tanpa jabat tangan kita. Apa yang salah
dariku? Katakanlah! Bulan, aku minta maaf."
"Kamu begitu pandai melambungkan perasaan. Tapi kenapa hatimu tak peka membaca rasa?"
"Kepalaku seperti dihantam batu besar. Aku bingung. Kalau kamu tak mau
memberitahu apa salahku padamu. Harus dengan siapa lagi aku bertanya?"
"Kupejam mata mendengarkan kata hatiku. Dia bertanya 'sampai kapan lagi kau menanti?'. Berbicaralah dengan hatimu!"
"Hati dan kepalaku terlalu sesak dengan tanya. Aku tak sanggup mengajak
mereka berpikir lagi. Ternyata kegundahanmulah yang mencekikku, sehingga
aku tak mampu bernafas karenanya. Gelisah hatimu seolah memotong
lidahku, aku tak dapat berkata-kata lagi."
"Hadirmu di hariku, walau hanya di dunia semesta, namun telah mempermainkan
rasaku. Sekarang aku butuh kepastianmu, Bintang. Kita ini apa?"
"Kamu adalah Bulan. Sementara aku Bintang yang terus berjalan. Biarlah kita, waktu yang tentukan."
"Itu tidak lucu, Bintang. Kenapa kamu selalu menyerahkan segalanya pada waktu? Kita bukan waktu. Kita ini apa?"
"Kita adalah orang yang hidup di bawah langit cinta, berpijak pada
kasih. Kita berjalan diantaranya. Ada kenangan di belakang kita, ada
mimpi dan harapan di depan kita. Kita bersahabat dengan waktu, melangkah
bersama doa."
"Itu bukan jawaban. Aku butuh kepastian. Kita ini apa, Bintang?"
"Jangan berpura-pura tak mengerti, Bintang. Kita ini apa?"
"Bintang, kita ini apa?"
"Kita ini apaaaaa? :'("
Tidak ada komentar:
Posting Komentar